SRIPOKU.COM, JAKARTA - Bagi industri keramik,
pelemahan rupiah bak pisau ganda. Satu sisi, pelemahan nilai tukar
rupiah melemah atas dolar Amerika Serikat (AS) menjadi berkah ekspor
bagi mereka. Sisi lain: pelemahan nilai rupiah membuat harga gas alam
menjadi mahal karena harga dipatok dengan dollar AS.
Erlin Tanoyo, Sekretaris Jenderal Asosiasi Aneka Industri Keramik
Indonesia (Asaki) bilang, pelemahan rupiah menjadi kesempatan
memperbaiki kinerja dengan menaikkan ekspor.
Saat ini, pasar ekspor keramik berkontribusi sekitar 10%-11% dari
total omzet industri keramik. Saat pelemahan rupiah, Erlin yakin,
kontribusi ekspor keramik tahun ini bisa naik jadi 15%.
Kenaikan ekspor diharapkan ikut mendongkrak omzet industri keramik
menjadi Rp 40 triliun. Tahun lalu, omzet keramik diperkirakan baru
mencapai Rp 36 triliun - Rp 37 triliun. Adapun kapasitas produksi
keramik nasional saat ini sekitar 550 juta meter persegi (m²) per tahun
dengan kebutuhan 500 juta m².
Untuk memperkuat pasar ekspor ini, industri keramik akan meningkatkan
kualitas produksi sesuai standar tujuan ekspor. Adapun negara tujuan
ekspor antara lain; Timur Tengah, Korea Selatan, Australia, Thailand,
Australia dan Amerika Serikat (AS). "Saat ini kami mencoba merintis
ekspor ke Filipina dan Thailand," jelas Erlin.
Erlin yang juga Direktur PT Sarana Griya Lestari Keramik ini bilang,
perusahaannya merupakan salah satu dari industri keramik yang berusaha
menggenjot ekspor. Hampir 40% total produksi Sarana Griya lestari
Keramik di ekspor ke beberapa negara.
Adapun lokasi produksi Sarana Griya Lestari Keramik ini berada di
Surabaya dan Jakarta. Kedua pusat produksi keramik itu memiliki
kapasitas produksi 50.000 m² per hari atau 18,25 juta m² per tahun.
Gas alam mahal
Meski begitu, pelemahan rupiah menambah biaya produksi keramik di Indonesia. Sebab, 60%-65% biaya produksi menggunakan kurs dollar AS. Sementara 89%-90% penjualan keramik berasal dari transaksi dalam negeri dengan rupiah.
Meski begitu, pelemahan rupiah menambah biaya produksi keramik di Indonesia. Sebab, 60%-65% biaya produksi menggunakan kurs dollar AS. Sementara 89%-90% penjualan keramik berasal dari transaksi dalam negeri dengan rupiah.
Salah satu biaya produksi yang membebani industri keramik adalah
harga gas alam. Selain menggunakan patokan mata uang dolar AS, harga gas
alam di Indonesia lebih mahal ketimbang harga gas di negara lain. Kata
Erlin, Harga gas alam rata-rata yang dipasok Perusahaan Gas Negara ada
di kisaran US$ 8 - US$ 9 per mmbtu (million metric british thermal
unit). "Coba bandingkan dengan harga gas di Singapura dan Malaysia,
mereka menjual gas alam lebih murah yaitu US$ 5 per mmbtu,” kata Erlin.
Karena biaya energi lebih mahal, maka biaya produksi keramik di
Indonesia menjadi lebih mahal. “Ini yang melemahkan daya saing kami,"
kata Erlin.
Elisa Sinaga, Ketua Asaki menambahkan, mahalnya harga gas alam
menjadi kendala pertumbuhan industri keramik. "Pasokan energi cukup,
tapi harga mahal," kata Elisa.